BANGLI -
Sebuah pasiraman atau tempat malukat pada umumnya hanya dipergunakan
nunas tirtha, di samping untuk memenuhi kebutuhan air untuk rumah
tangga. Saat malukat juga diperkenankan memakai pakaian adat, seperti
kamben dan penutup tubuh lainnya. Namun, semua itu tak berlaku di Pura
Pasiraman Kasuma Dewi. Bila ingin malukat,laki perempuan harus telanjang
bulat alias tak boleh ada sehelai benang pun melekat di badan.
Pura Pasiraman Kasuma Dewi di Banjar Tegal, Bebalang, Bangli,
tawarkan pesona lain, sekaligus tantangan bagi para pamedek atau mereka
yang datang untuk melaksanakan sembahyang dan ritual khusus.
Baik pamedek perempuan maupun laki-laki yang hendak malukat harus telanjang bulat di pancuran yang tanpa ada sekat.
Hal tersebut diungkapkan pemangku Pura Pasiraman Kasuma Dewi, Gusti
Mangku Gede saat ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) di Banjar Tegal,
Bebalang, Bangli, akhir pekan, kemarin . Bagaimana, ingin kesana?
Jika ingin mengunjungi pasiraman tersebut tidaklah sulit. Arahkan saja perjalanan menuju arah Kota Bangli, menuju lapangan Kapten Mudita Bangli. Setelah sampai, kemudian belok ke kanan cari Lembaga Permasyaraktan (LP) Bangli. Di sebelah selatan LP terdapat gerbang besar di timur jalan, tertera nama Banjar Tegal, Bebalang, Bangli. Nah, di sana masuk ke timur hingga sampai di depan Balai Banjar Tegal, kemudian lurus lagi ke timur sekitar satu kilometer, maka akan sampai di depan Pura Pasiraman Kasuma Dewi . Namun harus berhati – hati, sebab jalan menuju ke lokasi cukup terjal dan licin, apalagi jalannya sedikit rusak dan berkrikil.
Muasal Pasiraman Kasuma Dewi, Gusti Mangku Gede memaparkan, konon ada seorang raja pada zaman penjajahan kerajaan mencari Raja Tamanbali yang tinggal di Desa Tambahan Bangli yang berada sebelah timur Banjar Tegal, dibatasi bukit dan sungai.
Karena Raja Tamanbali diincar oleh musuh, maka warga yang bernama Pasek Dawan langsung menyembunyikan Raja Tamanbali di bawah bukit tersebut. Sehingga tidak dapat lihat oleh musuh yang juga penjajah. Raja diajak masuk ke sebuah goa yang ada klebutan (sumber mata air). Dari kisah inilah akhirnya tempat tersebut hingga saat ini menjadi sebuah pasiraman yang dinamai Kasuma Dewi, lengkap dengan pura yang terdapat di atas pasiraman tersebut.
Ditanya terkait tidak boleh menggunakan kain dan harus telanjang bulat, Gusti Mangku Gede mengaku belum mengetahui secara pasti asal mula aturan tersebut. Namun dirinya mengatakan warga sekitar tidak berani melanggar aturan yang telah berjalan dari leluhur . Sebab, pernah ada warga setempat, seorang anak SD mandi menggunakan pakaian. Apa yang terjadi? Sumber mata air tersebut menjadi kering seketika. Peristiwa tersebut dinilai warga sebagai kabrebehan (masalah), maka dibuatlah suatu upacara agar sumber mata air kembali mengeluarkan air. Upacara dilaksanakan bertujuan untuk mohon pengampunan (guru piduka) di pasiraman tersebut. Dan, airnya pun kembali mengalir deras hingga kini. Sehingga sampai sekarang ada aturan adat, bahwa siapa pun yang malukat menggunakan pakaian, mencari air sedang cuntaka, dan menaruh pakaian di areal pancuran, akan dikenakan sanksi adat. Yaitu berupa menghaturkan banten guru piduka, dan didenda sejumlah uang yang akan digunakan membuat upakara.
Lantaran aturan adat seperti itu, Gusti Mangku Gede menegaskan kalau malukat harus telanjang bulat. “Sampai depan pasiraman boleh menggunakan kain, namun saat akan malukat di pancuran harus dilepas. Di sini biasa malukat secara sama - sama, baik pria maupun wanita. "Kalau yang wanita menutup bagian vitalnya dengan tangan, dan jongkok di bawah pancuran. Sedangkan bagi yang pria boleh berdiri atau jongkok,” terang kakek dua cucu tersebut.
Ia mengatakan tidak pernah ada yang melakukan perbuatan asusila ketika berlangsung proses malukat . Dikarenakan saat masuk ke areal pasiraman, secara otomatis hanya fokus untuk malukat saja. Dalam pasiraman ada tiga buah pancuran. Terdiri atas dua buah pancuran pasiraman yang dipercayai agar awet muda, dan yang satu lagi adalah pancuran dianggap bisa memperlancar mendapat keturunan. Bahkan, dapat menyembuhkan penyakit kencing batu , yaitu pada pancuran yang terletak paling selatan.
Bila ingin malukat, lanjutnya, cukup membawa satu pajati dan canang sepuluh buah. Prosesi yang harus dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu melaksanakan persembahyangan di jeroan Pura Pasiraman Kasuma Dewi. Dengan mengharturkan pajati untuk mohon doa restu di sana. Selesai sembahyang, kemudian menuju ke tempat pasiraman berupa pancuran yang ada di bawah pura tersebut. Tentunya langsung melakukan panglukatan, dengan mengahturkan canang saja pada setiap pancuran.
Selesai malukat, maka dianjurkan untuk sembahyang lagi ke pura, sebagai ucapkan terima kasih, dikarenakan sudah diberikan keselamatan salama proses malukat berlangsung. Terlebih juga permohonan yang diinginkan diberikan jalan terbaik dan terkabulkan.
Gusti Mangku Gede mengaku pernah mengalami kejadian aneh secara niskala, dihampiri oleh orang berpostur sangat tinggi, sepadan dengan tiang listrik. Sosok aneh itu menghampirinya saat ngayah di Pura Pasiraman Kasuma Dewi . “Mungkin itu adalah rarencengan dari sasuhunan yang ada di pohon pule dan taep tersebut, yang berada di atas pasiraman dan pura. Penampakannya bertujuan untuk mengingatkan bahwa ada sesuatu upakara yang kurang saat pujawali berlangsung. Saat itu saya seperti kededepan (setengah sadar),” jelas ayah dua anak tersebut.
Gusti Mangku Gede juga mengatakan, selain tempat malukat, secara rutin digunakan untuk melaksanakan ngabejiang ketika pujawali. Baik dari Banjar Tegal sendiri atau banjar yang ada di lingkungan Kelurahan Bebalang. Tetapi tempat yang digunakan mlasti bukan di pasiraman, melainkan pada jeroan beji, yakni pada sumber klebutan air, dimana Pasiraman Kasuma Dewi itu berasal.
Bahkan ia pun mengakui, setiap piodalan berlangsung di banjar setempat cukup mlasti di sana saja. Selain itu, juga jadi tempat untuk mencari tirtha wangsuhpada Ida Bhatara (air yang disucikan).
Hal tersebut ia ungkapkan, dikarenakan semua pratima, prasati, bahkan tapakan sasuhunan berupa barong dan rangda, bahan dasar berupa kayu mereka nunas (minta) di sana. Yaitu bersumber dari pohon kayu taep dan pule, yang ada di atas pasiraman tersebut. Karena itu,
semua sasuhunan di sana harus mlasti ke Beji Pasiraman Kasuma Dewi. Bahkan, ada sebuah kayu yang ditunas, dan dijadikan sebuah topeng. Maka tirtha panglukatan topeng tersebut juga harus berasal dari sana. " Ini sebagai rasa bersyukur dan berterimakasih, karena topeng tersebut bersumber dari kayu taep dan pule," urainya.
(bx/rin/ade/yes/JPR) SUMBER
Bali Express (Jawa Pos )
TELANJANG: Malukat di Pasiraman Kasuma Dewi, Banjar Tegal, Bebalang, Bangli, laki perempuan harus telanjang bulat. (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS) |
Jika ingin mengunjungi pasiraman tersebut tidaklah sulit. Arahkan saja perjalanan menuju arah Kota Bangli, menuju lapangan Kapten Mudita Bangli. Setelah sampai, kemudian belok ke kanan cari Lembaga Permasyaraktan (LP) Bangli. Di sebelah selatan LP terdapat gerbang besar di timur jalan, tertera nama Banjar Tegal, Bebalang, Bangli. Nah, di sana masuk ke timur hingga sampai di depan Balai Banjar Tegal, kemudian lurus lagi ke timur sekitar satu kilometer, maka akan sampai di depan Pura Pasiraman Kasuma Dewi . Namun harus berhati – hati, sebab jalan menuju ke lokasi cukup terjal dan licin, apalagi jalannya sedikit rusak dan berkrikil.
Muasal Pasiraman Kasuma Dewi, Gusti Mangku Gede memaparkan, konon ada seorang raja pada zaman penjajahan kerajaan mencari Raja Tamanbali yang tinggal di Desa Tambahan Bangli yang berada sebelah timur Banjar Tegal, dibatasi bukit dan sungai.
Karena Raja Tamanbali diincar oleh musuh, maka warga yang bernama Pasek Dawan langsung menyembunyikan Raja Tamanbali di bawah bukit tersebut. Sehingga tidak dapat lihat oleh musuh yang juga penjajah. Raja diajak masuk ke sebuah goa yang ada klebutan (sumber mata air). Dari kisah inilah akhirnya tempat tersebut hingga saat ini menjadi sebuah pasiraman yang dinamai Kasuma Dewi, lengkap dengan pura yang terdapat di atas pasiraman tersebut.
Ditanya terkait tidak boleh menggunakan kain dan harus telanjang bulat, Gusti Mangku Gede mengaku belum mengetahui secara pasti asal mula aturan tersebut. Namun dirinya mengatakan warga sekitar tidak berani melanggar aturan yang telah berjalan dari leluhur . Sebab, pernah ada warga setempat, seorang anak SD mandi menggunakan pakaian. Apa yang terjadi? Sumber mata air tersebut menjadi kering seketika. Peristiwa tersebut dinilai warga sebagai kabrebehan (masalah), maka dibuatlah suatu upacara agar sumber mata air kembali mengeluarkan air. Upacara dilaksanakan bertujuan untuk mohon pengampunan (guru piduka) di pasiraman tersebut. Dan, airnya pun kembali mengalir deras hingga kini. Sehingga sampai sekarang ada aturan adat, bahwa siapa pun yang malukat menggunakan pakaian, mencari air sedang cuntaka, dan menaruh pakaian di areal pancuran, akan dikenakan sanksi adat. Yaitu berupa menghaturkan banten guru piduka, dan didenda sejumlah uang yang akan digunakan membuat upakara.
Lantaran aturan adat seperti itu, Gusti Mangku Gede menegaskan kalau malukat harus telanjang bulat. “Sampai depan pasiraman boleh menggunakan kain, namun saat akan malukat di pancuran harus dilepas. Di sini biasa malukat secara sama - sama, baik pria maupun wanita. "Kalau yang wanita menutup bagian vitalnya dengan tangan, dan jongkok di bawah pancuran. Sedangkan bagi yang pria boleh berdiri atau jongkok,” terang kakek dua cucu tersebut.
Ia mengatakan tidak pernah ada yang melakukan perbuatan asusila ketika berlangsung proses malukat . Dikarenakan saat masuk ke areal pasiraman, secara otomatis hanya fokus untuk malukat saja. Dalam pasiraman ada tiga buah pancuran. Terdiri atas dua buah pancuran pasiraman yang dipercayai agar awet muda, dan yang satu lagi adalah pancuran dianggap bisa memperlancar mendapat keturunan. Bahkan, dapat menyembuhkan penyakit kencing batu , yaitu pada pancuran yang terletak paling selatan.
Bila ingin malukat, lanjutnya, cukup membawa satu pajati dan canang sepuluh buah. Prosesi yang harus dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu melaksanakan persembahyangan di jeroan Pura Pasiraman Kasuma Dewi. Dengan mengharturkan pajati untuk mohon doa restu di sana. Selesai sembahyang, kemudian menuju ke tempat pasiraman berupa pancuran yang ada di bawah pura tersebut. Tentunya langsung melakukan panglukatan, dengan mengahturkan canang saja pada setiap pancuran.
Selesai malukat, maka dianjurkan untuk sembahyang lagi ke pura, sebagai ucapkan terima kasih, dikarenakan sudah diberikan keselamatan salama proses malukat berlangsung. Terlebih juga permohonan yang diinginkan diberikan jalan terbaik dan terkabulkan.
Gusti Mangku Gede mengaku pernah mengalami kejadian aneh secara niskala, dihampiri oleh orang berpostur sangat tinggi, sepadan dengan tiang listrik. Sosok aneh itu menghampirinya saat ngayah di Pura Pasiraman Kasuma Dewi . “Mungkin itu adalah rarencengan dari sasuhunan yang ada di pohon pule dan taep tersebut, yang berada di atas pasiraman dan pura. Penampakannya bertujuan untuk mengingatkan bahwa ada sesuatu upakara yang kurang saat pujawali berlangsung. Saat itu saya seperti kededepan (setengah sadar),” jelas ayah dua anak tersebut.
Gusti Mangku Gede juga mengatakan, selain tempat malukat, secara rutin digunakan untuk melaksanakan ngabejiang ketika pujawali. Baik dari Banjar Tegal sendiri atau banjar yang ada di lingkungan Kelurahan Bebalang. Tetapi tempat yang digunakan mlasti bukan di pasiraman, melainkan pada jeroan beji, yakni pada sumber klebutan air, dimana Pasiraman Kasuma Dewi itu berasal.
Bahkan ia pun mengakui, setiap piodalan berlangsung di banjar setempat cukup mlasti di sana saja. Selain itu, juga jadi tempat untuk mencari tirtha wangsuhpada Ida Bhatara (air yang disucikan).
Hal tersebut ia ungkapkan, dikarenakan semua pratima, prasati, bahkan tapakan sasuhunan berupa barong dan rangda, bahan dasar berupa kayu mereka nunas (minta) di sana. Yaitu bersumber dari pohon kayu taep dan pule, yang ada di atas pasiraman tersebut. Karena itu,
semua sasuhunan di sana harus mlasti ke Beji Pasiraman Kasuma Dewi. Bahkan, ada sebuah kayu yang ditunas, dan dijadikan sebuah topeng. Maka tirtha panglukatan topeng tersebut juga harus berasal dari sana. " Ini sebagai rasa bersyukur dan berterimakasih, karena topeng tersebut bersumber dari kayu taep dan pule," urainya.
(bx/rin/ade/yes/JPR) SUMBER
Bali Express (Jawa Pos )